Sejak awal, menurut Yorrys kasus tersebut terkesan janggal. Sejumlah kejanggalan telah diungkap oleh berbagai pihak. Tidak hanya mereka yang berkecimpung dalam penegakan Hak Asasi Manusia di dalam negeri.
“Tapi juga mereka yang selama ini turut mengamati perkembangan Papua dari luar negeri, dari waktu ke waktu. Walaupun pada gilirannya, Pihak Kepolisian tetap bersikukuh untuk menindaklanjutinya,” terangnya.
Terlepas dari itu, keputusan PN Jakarta Pusat seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak dengan mudah memberi stigma bagi masyarakat Papua.
” Siapapun dia, warga negara berhak memperoleh perlakukan sama di mata hukum. “Keadilan adalah milik semua orang, termasuk bagi warga Papua itu sendiri,” jelas Yorrys.
Di balik itu, respons terhadap persoalan kekerasan di Nduga yang diwanai aksi-aksi penertiban dan pengamanan seharusnya dievaluasi. Tuntutan penarikan pasukan non-organik oleh sebagian kalangan sejatinya dimaknai sebagai bagian dari kritisisme masyarakat terhadap peran dan fungsi aparatus keamanan selama ini. “Sebab mereka adalah subjek bagi ketentraman, keamanan dan kedamaian,” ujar Yorrys.
Yorrys menambahkan bahwa eskalasai kontak senjata yang melibatkan Pihak Keamanan dan mereka yang disebut sebagai kelompok kriminal serta separatis yang semakin meningkat, juga memerlukan evaluasi.