Wabup Ferizal menjelaskan, sejak dulu hingga kini persoalan sengketa tanah adat menjadi persoalan yang kompleks sekaligus ‘rahasia umum’ di tengah masyarakat. Menurutnya, kasus-kasus sengketa tanah adat, diduga banyak terjadi karena kurang sinkronnya hukum adat dengan UU Perdata, sehingga penyelesaiannya cenderung menjadi kontra produktif.
Di sini, perananan niniak mamak selaku pemimpin kaum di dalam nagari dibutuhkan terutama dalam hal pengawasan serta wadah buat memediasi sengketa, seperti antara anak- kemenakan. Jangan sampai, persoalan tanah ulayat, yang sedianya dapat diselesaikan secara hukum adat, bermuara ke ranah hukum Perdata di pengadilan.
“Kemudian, seperti kita ketahui di dalam ketentuan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disana dijelaskan, bahwa pemerintah baik pemerintah daerah maupun nagari, sebenarnya memiliki kewenangan dalam penyelesaian konflik tanah adat,” sebut Ferizal.
Pemerintah, lanjutnya, juga wajib memetakan serta mendata batas-batas atau status tanah adat sebelum menetapkan status pemanfaatan di dalam wilayahnya. Apalagi, tahun lalu (2016) pemerintah pusat sudah mengeluarkan kebijakan melalui PP Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
Seperti halnya tanah adat yang berstatus ‘harato pusako tinggi’ dan ‘harato pusoko rondah’. Jika harato pusako tinggi, katanya, secara hukum adat, itu tidak boleh dijual tetapi sifatnya hanya hak pakai. Begitu pula sebaliknya, jika harato pusako randah, itu secara hukum adatnya boleh diperjual belikan. (wba).