“Dalam buku ini, sepertinya para penulis menyetujui pemikiran buya, memberi penguatan pada pemikiran serta menetralisir pandangan negatif oleh segelintir orang pada Buya ASM,” tegas Prof Ganefri.
Penilaian Prof Ganefri ini, tersirat langsung dari testimoni yang disampaikan pembahas lainnya. Seperti, penilaian Ismail Novel, akademisi IAIN Bukittinggi yang juga aktivis Muhammadiyah. Begitu juga pendapat yang disampaikan dua orang budayawan muda Minangkabau, Yusrizal KW dan Zelfeni Wimra.
Dimoderatori budayawan Minang, Bung Edy Utama, keempat penulis berdarah Minang serta para pembahas lainnya, diberikan kesempatan berbicara ataupun mengungkap latar belakang dan motivasi mereka menulis tentang Buya ASM. Pemaparan mereka selain bisa disimak secara daring melalui aplikasi zoom meeting, juga bisa disaksikan di akun youtube valoranews tv.
//Disambut Antusias//
Jumaldi Alfi, menyebut diri sebagai salah seorang ‘Santri Nogotirto’ karena kerap berkunjung ke rumah Buya Syafii di kawasan Nogotirto, Sleman –untuk menimba ilmu dan kearifan dari Buya maupun sekadar silaturahim– menyebutkan, kerangka acuan buku ini disiapkan dalam rentang relatif waktu singkat, dua bulan.
Kerangka acuan itu antara lain menyoal sedikitnya Buya Syafii membahas masalah perempuan dan ketimpangan gender, yang kemudian jadi sasaran kritik berbagai pihak.