Jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual sepanjang tahun ini di Sumbar boleh saja turun. Namun, angkanya masih terbilang tinggi. Tragisnya, Ratusan kasus. Dan, korban terbanyak adalah anak-anak.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3APPKB) Sumbar mencatat, tahun ini pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan sebanyak 34 kasus dan 317 pada anak. Bila dalam satu tahun itu ada 365 hari. Artinya rata-rata nyaris satu kasus terjadi setiap harinya.
Tahun 2021 lalu, tercatat 44 kasus pada perempuan dan 470 anak-anak. Bila dibandingkan dengan tahun 2020, angka tahun ini masih jauh lebih besar. Dua tahun lalu hanya terkuak 17 kasus dengan korban perempuan dan anak-anak 182 kasus.
Data tersebut diambil dari aplikasi Simfoni PPA dengan basis data tanggal pengimputan hingga 26 Desember 2022.
Beragam motif pelaku dalam melancarkan akal busuk demi pemenuhan hasrat seksual mereka. Alurnya, pelaku mengidentifikasi korban dan lingkungan sekitar ditambah dengan hasrat yang muncul dalam dirinya.
”Ada pula tetangga yang awalnya melihat anak kecil yang tak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Lalu dengan iming-iming uang jajan setiap hari, kemudian berlanjut mengajak bermain di rumah pelaku yang akhirnya terjadi pelecehan di sana.
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Woman Crisis Center (WWC) Nurani Perempuan, ada sekitar 51 kasus hingga November lalu yang tercatat dan berhasil dilakukan pendampingan. Korban bukan hanya dari kalangan perempuan saja. Namun di beberapa kasus kekerasan seksual juga menimpa anak laki-laki seperti korban sodomi.
Direktur Woman Crisis Center (WWC) Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengungkapkan, pelaku dari kasus kekerasan tersebut didominasi oleh kerabat dan orang terdekat dari korban. ”Mulai dari pacar, tetangga, keluarga bahkan tenaga pengajar. Selain itu, pelecehannya pun beragam. Ada pemerkosaan, kekerasan seksual berbasis elektronik dan kasus sodomi,” katanya.
Ia pun memprediksi pada tahun ini akan terjadi peningkatan kasus. Karena, menjelang akhir tahun ada beberapa korban yang melakukan pelaporan kasus kekerasan seksual ke Nurani Perempuan.
Dia mengingatkan, persoalan pelecehan atau kekerasan seksual, hal utama yang harus dilakukan adalah pencegahan di tengah masyarakat harus lebih intens. Perlu sosialisasi terus-menerus soal bahaya kekerasan seksual.
”Kita harus mengenali dan mengetahui bahaya dari kekerasan seksual terlebih dahulu. Misalnya, ada orang yang mengiming-imingi dan janji-janji yang disampaikan pelaku kepada korban. Karena, saat ini kekerasan seksual tersebut tidak selalu bermula dari kekerasan. Dengan mengenali ciri-cirinya diharapkan masyarakat dapat menghindar dari perilaku yang berpeluang menjadi kekerasan seksual,” ujarnya.
Rahmi menyebut, sering kali akibat pelaku yang merupakan orang dekat, membuat korban menjadi kesulitan mengungkapkan dirinya yang telah menjadi korban. Bahkan terkadang, di beberapa kasus, awalnya si korban tidak dipercaya telah menjadi salah satu korban. Seringkali juga, ketika si anak melaporkan telah menjadi korban kekerasan seksual tidak ditanggapi serius oleh keluarga. ”Hal seperti itu yang harus kita edukasi ke masyarakat agar tidak terulang kembali,” ucapnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, dari 51 kasus yang mereka tangani saat ini, ada sekitar 30 persen yang sudah dalam tahap proses di kepolisian. ”Untuk itu kita perlu melakukan pendampingan dan penguatan kepada korban agar dapat bangkit, serta mau melaporkan kasus kekerasan seksual tersebut ke kepolisian,” ucapnya.