Selain itu, para siswa juga dibuat khawatir mengenai jenis tes skolastik yang diujikan. Hal itu lantaran tidak adanya materi skolastik di sekolah. Sehingga mereka dituntut untuk dapat memahami sendiri materi skolastik dalam waktu yang relatif singkat.
Nyatanya, secara konsep kebijakan yang dikeluarkan oleh Nadiem memang sesuai dengan arus perkembangan zaman. Tatkala siswa tidak lagi dituntut untuk sekedar memahami. Tapi sudah harus mengimplementasikan ilmu yang didapat. Sebagai bekal untuk menjadi generasi digital yang dapat bersaing secara global ke depannya.
Namun, ada satu hal yang harus digaris bawahi oleh Nadiem Makarim selaku aktor dalam pembuat kebijakan. Yaitu sesuatu yang tergesa-gesa nyatanya tidak akan bisa menggapai hasil yang sempurna.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda. Seharusnya, Nadiem lebih memperhitungkan setiap kebijakan yang diambil. Baik dari segi prioritas masalah, pengawasan kebijakan di lapangan, pengalokasian dana maupun fasilitas penunjangnya.
Sebab, jika sedikit saja terjadi kelalaian dalam kebijakan yang dibuat, masa depan generasi muda lah taruhannya.
Selain itu, poin utama yang juga harus dikritisi oleh masyarakat Indonesia ialah, jika pada masanya habis kekuasaan seorang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, maka kebijakan baru yang sudah berada dipertengahan jalan bisa dihentikan secara tiba-tiba oleh menteri yang baru.