Perjalanan dan Titik Balik Suku Aborigin Australia

oleh

Oleh : Hanifa Humairo (Mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Perjalanan suku Aborigin sebagai penduduk asli Australia tertua, yang hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Mereka dikenal sebagai suku pengembara.

Suku Aborigin diketahui sebagai salah satu suku yang pertama kali menempati hampir seluruh wilayah Australia. Namun seiring berjalannya waktu banyak bangsa-bangsa barat yang datang ke Australia. Hal ini membuat kehadiran suku Aborigin tersisihkan oleh bangsa berkulit putih.

Hal ini terjadi ketika kedatangan Inggris ke Benua Australia. Pada saat itu ketika kapal James Cook mendarat pertama kali pada 1770. Arthur Philip Gubernur Inggris pertama yang memimpin para tahanan atau narapidana untuk membagun sebuah koloni baru.

Pada awalnya pemerintah Koloni Inggris ini tidak memiliki kebijakan khusus terhadap orang-orang Aborigin. Namun ketika persediaan makanan masyarakat Eropa mulai menipis, maka kerusuhan dan kelaparan mulai terjadi.

Kesewenangan bangsa-bangsa berkulit putih membuat suku Aborigin resah, dimana lahan mereka dikuasai oleh kerajaan Inggris dan dibagikan kepada pemukim kulit putih. Tidak ada lahan yang dibagikan kepada suku Aborigin yang menyebabkan mereka harus tersingkir ke pedalaman Australia.

Suku Aborigin juga tidak bisa berburu dan meramu seperti sedia kala. Oleh karena itu mereka terpaksa untuk menombak hewan-hewan ternak milik orang-orang berkulit putih. Kehadiran industri pastoril di daratan Australia membuat kehadiran suku Aborigin semakin terdesak. Segala sumber pangan diblokade begitu saja.

Dikutip dalam media online theasianparent bahwa pada awal tahun 1830 hingga 1880-an kaum kolonialis Eropa melancarkan apa yang mereka sebut degan gerakan Pasifikasi. Tak lain adalah gerakan penaklukan terhadap ras Aborigin.

Peperangan terjadi antara kedua belah pihak. Dimana orang-orang kulit putih dengan mudah mengalahkan suku Aborigin. Karena mereka menggunakan persenjataan modern.

Peperangan menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk Aborigin secara drastis. Tak hanya itu penyakit-penyakit baru seperti Tuberkulosis (TBC), flu, juga merajalela di kalangan suku Aborigin semenjak kedatangan para pendatang.

Hal lainnya yang menyebabkan populasi suku Aborigin semakin menipis. Yakni, tekanan dari pihak luar yang mengambil alih ladang perburuan dan tempat suci mereka. Juga, adanya kebijakan Asimilasi yang dijalankan secara paksa.

Dikutip dalam media online kompasiana bahwasannya, “Antara tahun 1910 dan 1970, kebijakan asimilasi pemerintah mengakibatkan 10 hingga 33 persen anak-anak Aborigin dipindahkan secara paksa dari rumah mereka”.

Anak-anak tersebut dimasukan ke dalam keluarga dan lembaga adopsi. Bagi pria Aborigin yang melawan hal ini maka polisi berhak melakukan tindakan lanjutan atas perlakuan Aborigin tersebut.

Hal yang miris yakni mereka juga dilarang menggunakan bahasa ibu yang merupakan jati dirinya. Tak hanya itu nama mereka pun juga sering diganti.

Saat ini diperkirakan jumlah penduduk suku Aborigin hanya tinggal 144.000 jiwa. Ini sudah termasuk dengan suku aslinya dengan jumlah hanya 50.000 dan sisanya sudah tercampur dengan ras lainnya.

Titik balik terjadi, ketika suku Aborigin mulai berbaur dengan rakyat Australia. Hal ini dibuktikan dengan mayoritas orang-orang Aborigin saat ini sudah tinggal di kota. Banyak dari mereka yang sudah menikah dengan sesama suku ataupun dengan orang yang bukan Aborigin.

Anak-anak dari hasil pernikahan ini ada yang menetap sebagai suku Aborigin dan ada juga yang menyatu kembali kepada keluarganya. Namun kedamaian ini tak berlangsung lama karena adanya permasalahan lain yang muncul. Dimana tingkat kemiskinan suku Aborigin yang lebih tinggi dari pada orang Australia lainnya.

Berdasarkan situs dosenpendidikan.co.id orang-orang Aborigin mengalami :

  • Tingkat pengangguran yang tinggi serta pendapatan yang lebih rendah
  • Harapan hidup yang lebih pendek, hal ini diduga dengan adanya transisi kehidupan orang-orang Aborigin yang awalnya bebas dan hanya perlu untuk bertahan hidup sehari-harinya berubah menjadi masyarakat yang lebih normal dan berpendidikan
  • Tingkat kematian bayi yang lebih tinggi
  • Keadaan rumah yang mulai berdesak-desakan terutama di daerah pedesaan

Melalui proses wawancara saya dengan salah satu mahasiswa Universitas Andalas ia berpendapat bahwasanya, “Masalah-masalah yang telah dipaparkan akan dapat diperbaiki jika terjadinya perubahan sikap masyarakat itu sendiri. Perbaikan fasilitas kesehatan dan ketersediaan perumahan. Serta sarana pendidikan menjadi hal yang penting, kedepannya diharapkan pemerintah dapat memberikan hak-hak yang sama antara orang-orang Aborigin dan warga Australia sehingga tidak terjadi ketipangan sosial dan ekonomi yang tinggi” ujar Miftahul Jannah.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehidupan suku Aborigin sangat damai sebelum kedatangan ras kulit putih. Ketika semua hak suku Aborigin diambil secara paksa dan bangsa Inggris mengesampingkan kehadiran mereka untuk kehidupan barunya.

Rasa sakit yang tidak dapat ditanggung suku Aborigin membuat mereka melawan otoritas Inggris dan terjadilah perang yang dimenangkan bangsa Inggris. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Aborigin mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan normal dan keluar dari lingkaran keterpurukan tersebut.

Namun seiring perkembangannya, muncul masalah baru yaitu ketimpangan sosial antara masyarakat Aborigin dan penduduk Australia. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting untuk menyelesaikan masalah ini dan memastikan bahwa suku Aborigin memiliki hak yang sama dengan penduduk Australia di masa depan.  (*)

Menarik dibaca