Apalagi saat ini, kawasan resapan air di hutan sudah berkurang, sebagai dampak dari penebangan hutan. Karena tidak ada kawasan resapan air, maka hujan yang turun dari langit langsung masuk aliran sungai. Karena debit air yang besar, mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor.
“Kami mencoba mengurangi debit air yang besar itu dengan membangun embung, seperti di NTT yang membangun sekitar 200 embung untuk mengurangi resiko banjir. Kalau musim panas, air dalam embung bisa dipakai, kalau musim hujan, air disimpan dalam embung. Tapi sayang, kalau membangun embung di Sumbar selalu terkendala dengan masalah pembebasan tanahnya,” ujarnya.
Persoalan serupa juga dialami Balai Besar Jalan Nasional II yang membangun beberapa proyek besar dengan menggunakan dana APBN. Seperti proyek jalan di Sungai Dareh, Dharmasraya. Beberapa ruas jalan yang sedang dikerjakan di sana tidak bisa dilanjutkan karena pembebasan tanah yang belum selesai. “Termasuk juga rencana proyek pembangunan jalan Layang Padang Luar yang kini masih terkendala soal ganti rugi tanah warga. Kecuali masalah jalan tembus Lubuk Minturun-Paninggahan (Kab Solok), terkendala oleh karena status tanah hutan lindung,” tambah Eko, pejabat dari Prasjaltarkim.