Oleh : Feri Fren (Widyaiswara LPMP Sumbar)
Setiap Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, perantau asal Sumatera Barat banyak yang pulang mudik ke kampung halaman. Apabila kita lihat kilas balik arus lalu lintas di ranah minang, sangat banyak sekali kendaraan non BA yang bersileweran. Hal ini mengakibatkan kemacetan di beberapa ruas jalan, khususnya di jalur Padang Bukittinggi.
Walaupun perantau sudah banyak yang kembali ke perantauan dan hari raya sudah selesai, namun kemacetan ruas jalan antara Padang dengan Bukittinggi khususnya pada hari-hari tertentu dan pada jam-jam sibuk masih juga belum terselesaikan dengan tuntas. Waktu tempuh kendaraan bisa melebihi batas normal, hal ini tentu akan mengganggu kinerja serta produktifitas masyarakat.
Sebagai contoh, seorang pegawai yang berangkat habis sholat subuh dari Bukittinggi untuk bekerja di Padang atau sebaliknya, sampai di Padang atau di Bukittinggi sudah hampir pukul 08.00 WIB (waktu tempuh sekitar 2,5 jam) dengan kondisi kemacetan di jalan raya yang ditemuinya.
Jika jam masuk kantor bagi seorang pegawai pukul 7.30 WIB, tentu hal ini akan berdampak buruk terhadap kinerjanya. Tidak hanya pegawai yang merasakan, hal serupa juga dirasakan oleh pedagang antar kota dalam propinsi yang menjual dagangannya di pagi hari.
Sebenarnya, jarak antara Padang dengan Bukittingi lebih kurang 100 Kilometer. Jika ditempuh dengan kendaraan umum di jalan yang lancer dengan kecepatan rata-rata 65 Km/Jam, berarti waktu tempuhnya hanya sekitar 1,5 jam. Berapa waktu yang terbuang sia-sia dengan terjadinya kemacetan di jalan raya. Padahal kita semua tahu bahwa waktu adalah uang dan waktu juga akan bisa meningkatkan volume serta kualitas hasil dari sebuah pekerjaan.