Ketidaktepatan tersebut diduga akibat masalah transparansi, khususnya berkaitan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dijadikan sebagai basis data penerima manfaat.
Lebih lanjut Sylviana menyatakan jika di daerah ditemukan pula dugaan penerima manfaat bantuan sosial adalah orang-orang di sekitar pemegang kekuasaan di daerah. Mulai dari kekuasaan terkecil (di desa). Dengan kata lain, kasus korupsi bansos bisa dibilang puncak gunung es dari persoalan transparansi. Termasuk pula, akuntabilitas dalam distribusi bansos selama ini.
Ke depan, papar Sylviana lagi, perlu dilakukan pembenahan transparansi di Kemensos. Pembenahan itu harus dimulai dari perluasan akses informasi yang melibatkan kontrol para pemangku kepentingan.
Selama ini, Komite III DPD RI memandang, sengkarut distribusi bansos dipicu pula oleh keterbatasan akses informasi.
“Ini harus dibenahi. Wajib dibangun sistem yang terpadu, yang mampu memperkecil peluang korupsi. Tidak bisa disangkal, korupsi memang selalu muncul pada celah-celah, sekecil apapun, ketertutupan akses informasi disertai defisit akuntabilitas. Ini mendesak menjadi agenda prioritas semua pihak. Dengan demikian, kasus korupsi diharapkan tidak terulang kembali,” terang Sylviana.