Kesedihannya bertambah saat salah satu adiknya meninggal pada tahun 2005. Kini hanya ia dan Basri, adiknya yang lain yang masih melestarikan talempong batuang.
Kekhawatirannya semakin besar bila mengingat usianya yang sudah tua, namun belum ada penerus yang tepat. “Sebenarnya Angku sudah mengajarkan talempong batuang pada anak dan cucu, namun tidak banyak yang tertarik,” tambahnya.
Kekhawatiran Angku Umar ternyata cukup menjadi perhatian Pemerintah Kota Sawahlunto. Efrianto, MSi Kepala Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto mengungkapkan pihaknya sedang berupaya untuk menyelamatkan seni tradisi masyarakat Silungkang, yakni Talempong Batuang, dari kepunahan akibat menurunnya minat untuk mempelajarinya.
Salah satu langkah yang sudah dilakukan guna menjaga Talempong Batuang dari kepunahan dengan menampilkan kesenian tersebut pada beberapa kegiatan pementasan seni budaya yang digelar pihaknya.
“Bahkan kami juga pernah membawa seni tradisi ini ke negara tetangga untuk dipertontonkan ke khalayak ramai di sana, mereka sangat antusias menyaksikan seni Talempong Batuang karena alatnya yang sederhana dan unik, tapi mampu menghasilkan suara yang indah saat dimainkan,” ujar Efrianto.
Menurutnya, saat ini kesenian tersebut diketahui masih dilanjutkan oleh satu keluarga saja, yakni keluarga Umar Malin Parmato (90), jika kondisi ini dibiarkan maka hampir dipastikan seni tradisi itu akan punah akibat tergerus perkembangan seni budaya lainnya yang lebih modern.