SPIRITSUMBAR.COM – Negara kita Indonesia selalu mendapatkan nilai pada posisi bagian bawah dari hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA).
Program ini diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang merupakan suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia.
Tes PISA dilakukan setiap 3 tahun sekali bagi murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak. Tes yang dilakukan dalam mata pelajaran utama yaitu membaca, matematika dan sains. Tes ini bersifat diagnostik yang digunakan untuk memberikan informasi yang berguna untuk perbaikan sistem pendidikan.
Indonesia telah berpartisipasi dalam studi PISA mulai tahun 2000. Dari hasil yang diperoleh Indonesia selalu berada pada peringkat bawah.
Lalu apa penyebabnya? Memang masalah ini kebanyakan diserahkan kepada pihak sekolah, akan tetapi untuk kita ketahui murid-murid lebih banyak waktunya berada di luar sekolah dan di masyarakat. Oleh sebab itu masalah Literasi dan Numerasi juga bisa dipengaruhi oleh orang tua, masyarakat serta instansi pemerintah lainnya di luar Kementerian Pendidikan.
Kita harus bersama ikut membantu dan menyelesaikan masalah Literasi dan Numerasi ini. Tidak bisa diserahkan kepada sekolah saja.
Sebagai contoh sebuah pengalaman menarik penulis jumpai saat mengunjungi sebuah instansi pemerintah pelayanan publik. Tidak adanya panduan dalam berurusan, tidak diberikan informasi yang jelas.
Dimana posisi antrian, posisi meletakkan nomor antrian. Apakah di atas atau di bawah. Nanti dalam proses nomor antrian tersebut yang di dahulukan yang dari atas atau yang dari bawah.
Akhirnya yang berurusan bingung dan serba salah. ujung-ujungnya, dimarahi petugas yang sok disiplin. Ini salah satu masalah implementasi Literasi.
Belum lagi dengan ketidaknyamanan jawaban dari petugas yang tidak bersifat membimbing dan membantu. Seolah-olah urusan di instansi tersebut di kapling-kapling. Petugas di bagian tertentu hanya mengurus bagiannya saja, yang lain tidak urusannya.
Tidak ada kerjasama satu tim terlihat. Atau mungkin masih memakai paradigma lama dalam memberikan pelayanan kepada publik “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”.
Sangat jauh sekali kita bandingkan dengan pelayanan yang kita terima dari petugas BUMN seperti kita berurusan di bank dibandingkan di instansi pemerintah.
Dari sisi lain dapat juga kita tinjau, memang oknum yang berbuat tetapi akan memberikan penilaian negatif terhadap pelayanan publik.
Sebagai dampak dari kejadian ini yang mungkin tidak dirasakan oleh oknum petugas bersangkutan. Instansi tersebut akan Sulit untuk mendapatkan predikat ZI-WBK (Zona Integritas-Wilayah Bebas Korupsi).
Karena rendahnya nilai pelayanan publik yang diberikan oleh orang-orang berurusan terhadap instansi yang bersangkutan.
Dari contoh kasus tersebut di atas, bagaimana nilai Literasi dan Numerasi kita akan meningkatkan. Sementara dari pihak luar belum mendukung.
Sudah sepantasnya jugalah, masalah Literasi dan Numerasi juga di sosialisasikan ke pihak luar Kementerian Pendidikan agar budaya Literasi dan Numerasi bisa di bumikan. (*)