Oleh: Riyon.
Sorotan yang berkembang di masyarakat, betapa enaknya jadi anggota dewan, gajinya besar, pokoknya sejahteralah. Belum lagi bisa menyalurkan dana bak eksekutif melalui dana yang berlabel Pokok Pikiran (Pokir) yang bersumber dari APBD.
Bayangkan dana pokir per anggota setiap tahun anggaran semakin melejit dan membengkak. Ini sudah bukan rahasia umum lagi di telinga masyarakat. Salah satu contoh masih di suatu daerah Provinsi Sumatera Barat, pada tahun 2016 mendapat jatah pokir Rp 1,5 miliar per anggota dewan. Pada tahun 2017 meningkat menjadi Rp1,7 miliar. Bukan mustahil, untuk tahun 2018 sebagai tahun politik semakin membengkak.
Artikel Lainnya
Dana pokir anggota dewan kebanyakan untuk pembangunan di dapilnya masing-masing. Tetapi proseduralnya kegiatan pokir ini diberikan legalitas kalau dulu SKPD sekarang OPD dari proses Penunjukan Langsung (PL) yang memegang kartu As ya wakil rakyat. Sementara pelaksanaannya tanggung jawab OPD. Kesimpulannya yang ribet dari pihak eksekutif (OPD) termasuk ketika ada pemeriksaan dari BPK dan BPKP juga OPD.
Anggota dewan hanya duduk manis tanpa beban. Bahkan munculah dugaan rekanan yang akan diberikan pokir ini dugaannya kental “Nepotisme”.