“Konversi Dana Desa menjadi BLT ini kuncinya adalah pada komitmen, integritas dan pengawasan publik”, tegasnya.
Arie meminta, yang harus dikawal adalah birokratisasi pemerintah kabupaten itu haruslah membantu desa, jangan mempersulit. Selain itu, lanjutnya, komite I DPD RI harus membuat pemerintah dalam hal ini Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu membuat komitmen dengan BPK dan BPKP agar tidak terjadi permasalahan hukum yang menjerat perangkat desa dikemudian hari.
“Pengawasan situasi seperti ini tidak harus rigit. Saya berharap Komite I DPD RI bersuara memberi rekomendasi strategis utuk mempersingkat rantai penyaluran dan maksimalkan pengawasan dibawah. Fokus kita semua harus pada pada penyelematan desa”, ujarnya.
Sementara itu, Rohidin menjelaskan ada beberapa potensi masalah atas penggunaan Dana Desa khususnya untuk BLT. Pertama, soal Silpa. Menurutnya, sangat dimungkinkan terjadinya SILPA yang menumpuk di Desa dari prosentase alokasi Dana Desa untuk BLT yaitu kisaran 25%-30% dan 35% yang tidak terserap khususnya pada Tahap I karena menunggu data warga miskin yg belum fix. Kedua, di tingkat Pemda. Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota akan terus berupaya melakukan sinkronisasi Data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dengan menambahkan “kriteria lokal” guna menutupi “kuota” BLT. Sehingga kemungkinan akan terjadi variasi data atas kriteria lokal antar daerah/propinsi dan pulau, dampaknya angka kemiskinan bisa “membengkak”.