“Pengawasan situasi seperti ini tidak harus rigit. Saya berharap Komite I DPD RI bersuara memberi rekomendasi strategis utuk mempersingkat rantai penyaluran dan maksimalkan pengawasan dibawah. Fokus kita semua harus pada pada penyelematan desa”, ujarnya.
Sementara itu, Rohidin menjelaskan ada beberapa potensi masalah atas penggunaan Dana Desa khususnya untuk BLT. Pertama, soal Silpa. Menurutnya, sangat dimungkinkan terjadinya SILPA yang menumpuk di Desa dari prosentase alokasi Dana Desa untuk BLT yaitu kisaran 25%-30% dan 35% yang tidak terserap khususnya pada Tahap I karena menunggu data warga miskin yg belum fix. Kedua, di tingkat Pemda. Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota akan terus berupaya melakukan sinkronisasi Data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dengan menambahkan “kriteria lokal” guna menutupi “kuota” BLT. Sehingga kemungkinan akan terjadi variasi data atas kriteria lokal antar daerah/propinsi dan pulau, dampaknya angka kemiskinan bisa “membengkak”.
Ketiga, lanjut Rohidin, ditingkat Desa khusus BLT. Desa dengan Penduduk Besar, penduduk yang belum tercover PKH, BPNT yang masih besar akan menimbulkan beban bagi Pemdes karena kuota Dana Desa juga terbatas, potensi rawan “gesekan” apalagi pasca Pilkades. Meskipun ada alternatif diajukan ke Pemda, namun proses dipastikan agak lama. Kemudian desa dengan Penduduk lebih kecil, tetap akan kesulitan memenuhi 14 Kriteria / 9 kriteria dan diluar penerima bantuan. “Potensi masalahnya adalah bagi rata semua warga desa”, ujarnya.