KI Sumbar Periode Ketiga yang Penuh Tantangan

oleh

Oleh: Adrian Tuswandi (Komisioner KI Sumbar)

Bagaimana dengan kerja KI Sumbar periode ketiga (2023-2027)? Tentu saja penulis berharap 5 nama yang akan disetujui DPRD Sumbar adalah figur yang siap dan lebih all out lagi bekerja untuk keterbukaan informasi publik.

Buang jauh-jauh pikiran “cuci gudang” komisioner incumbent sebelum fit and proper test digelar secara profesional dan transparan.

Sebagai sebuah lembaga, tentu harus ada berkelanjutan di KI Sumbar. Komisioner harus paham terhadap penerapan kerja-kerja dalam memasifkan keterbukaan informasi di lapangan atau badan publik, bukan hanya memahami secara text book.

Ketika komisioner KI periode ketiga nanti disahkan atau dilantik, mereka tidak untuk belajar dulu baru bekerja, tapi langsung bekerja. Action! Kerja untuk mengawal keterbukaan informasi publik. Di sisi inilah pentingnya keberadaan Komisioner KI periode sebelumnya

Pasalnya, KI periode ketiga tidak bisa dikatakan ringan kerjanya dalam melanjutkan berbagai terobosan yang sudah baik dilakukan periode sebelumnya.

Ada banyak tantangan kerja yang harus mereka lakukan begitu dilantik dan disumpah menjadi Komisioner KI Sumbar 2023-2027 yang hari pelantikannya ditentukan oleh Gubernur Sumbar.

OPD Harus Informatif

Soal organisasi perangkat daerah (OPD) Pemprov Sumbar berprediket Informatif memang menjadi bengkalai pada dua periodesasi KI Sumbar. Setiap monev, OPD yang berada teratas itu ke itu saja, seperti RSUD dan Setwan DPRD Sumbar. Lalu, ada yang nilai monev-nya hanya di kisaran Menuju Informatif atau Cukup Informatif.

Potret keterbukaan informasi di OPD menjadi kerja keras KI periode ketiga. Bagi penulis, sebenarnya ini mudah direalisasikan bila KI dan Pemprov atau Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Utama Pemprov Sumbar mau bersinergisi dan konsisten menerapkan keterbukaan informasi.

Kemudian, ada Perda KIP. Tentu ini akan menjadikan regulasi yang harus ditindaklanjuti Pergub. Adanya ini menjadi senjata bagi PPID Utama dan KI Sumbar untuk menghapus istilah OPD “air mata” dan OPD “mata air” dalam menerapkan keterbukaan informasi publik.

OPD air mata cenderung terbuka karena anggarannya kecil, tapi OPD “mata air” banyak tertutup karena anggaranya besar di APBD. Banyak kepentingan yang mungkin harus ditutupi oleh OPD “mata air” itu. Padahal seharusnya keterbukaan informasi dan dokumentasi publik sebuah keniscayaan, ibarat nafas di kehidupan.

Menarik dibaca