Keluarga Mualaf Batalkan Umroh, Uangnya untuk Bangun Pesantren

oleh

Oleh Eri Satri

Terlahir dari keluarga sipir penjara, Boby Gustiadi Bu’ulolo  paham betul kehidupan narapidana. Mualaf asal Nias Selatan ini melihat begitu banyaknya orang cerdas di penjara, tetapi sangat sedikit yang memiliki akhlak terpuji. Jumblah orang cerdas di pepenjara ini terus meningkat dar tahun ke tahun.

Kenyataan ini membuat hatinya terpanggil untuk berbuat yang menghasilkan insan berbudi luhur. Atau setidak tidaknya membuat akhlah manusia menjadi lebih baik. Karena jauh dari lubuk hatinya yang terdalam ada keyakinan bahwa Akhlak mulia merupakan pilar kehidupan. Jika pilar ini roboh, maka rusaklah kehidupan.

Realita kehidupan di penjara membuat Ustadz alumni pesantren Darussalam Aur Duri Sumani ini sangat percaya, bahwa akhlak mulia jauh lebih tinggi nilainya dari kecerdasan. Ini juga dibuktikan dengan realita sejarah masa lalu. Begitu banyaknya suatu kelompok atau bangsa yang hancur karena memliki akhlak yang rusak. Salah satunya adalah kehancuran masyarakat Sodom.

Menyadari akan pentingnya akhlakul karimah, Ustadz Boby Gustiadi dan kedua orangtuanya memendam asa untuk mendirikan bengkel manusia. Maka uang tabungan yang disimpan ayahnya, Saardi Bu’ulolo bertahun tahun sebagai sipir penjara, ditambah dengan tabungan ibunya, Witri Anita dari hasil buka warung di Lapas Kelas II B Laing Kota Solok, uang tabungan yang semula akan digunakan untuk menunaikan ibadah umroh dialihkan untuk membangun pondok pesantren.

Maka pada tahun 2017 mereka mendirikan Pondok Pesantren DarutThalib di Jalan kapten Bahar Hamid, Laing Taluak, Kelurahan Laing, Kecamatan Tanjung Harapan, Kota Solok, Sumatera Barat. Lokasinya tak jauh dari Lapas Kelas II B Kota Solok. Kata Thalib diambil dari nama kakek Boby Gustiadi yaitu Thalib Bu’ulolo. Thalib Bu’ulolo sendiri merupakan keluarga asal Nias Selatan, Pulau Nias, Sumatera Utara yang menjadi mualaf setelah menikah dengan Nur Halimah, warga asal Sawah Sudut, Selayo, Kabupaten Solok.

Artikel Lainnya

loading…


Di tahun pertama itu, Ponpes Darut Thalib hanya menerima 7 orang santri dan semua aktivitas belajar mengajar dilakukan di rumahnya di samping kanan gedung pondok pesantren. Pada tahun kedua, 2018, seiring pembangunan gedung baru, jumlah santri baru meningkat menjadi 33 orang. Pada tahun 2019 lalu, jumlah santri   melonjak menjadi 108 orang. Kondisi ini, seriring dengan bertambahnya jumlah guru. Saat ini jumlah guru yang mengabdi di Ponpes sebanyak 21 orang.

“Sekarang, sebelum masuk tahun ajaran baru, sudah ada sekitar 50 santri baru yang mendaftar. Padahal, kami tidak pernah membuat brosur atau pengumuman. Para calon santri yang mendaftar, umumnya beralasan melihat perubahan dari para santri kami saat pulang kampung. Juga dari guru-guru disini, yang bekerja ikhlas, meski hanya menerima pemasukan yang ala kadarnya,” ujar Boby.

Dikatakannya, mendirikan pondok pesantren nirlaba, tentu saja memiliki konsekwensi yang besar, tantangannya adalah hidup miskin dan serba kekurangan. Dan itu memang terjadi,  keluaga mualaf ini sempat ketar ketir dalam memenuhi beaya operasional pesantren. Karena uang pensiun ditambah dengan hasil membuka warung di Lapas Kelas II B Laing dan uang yang dipungut dari santri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal santri.

Ini terjadi karena pemasukan dari santri sebesar Rp 300 ribu perbulan untuk beaya makan mengalami kemacetan, karena lebih dari 90 persen santri tidak sanggup membayar. Macetnya pemasukan dari santri ini wajar saja terjadi, karena santri rata rata berasal dari keluarga tak berada. Mereka berasal dari keluarga miskin, anak yatim dan anak dari keluarga broken home.

Beberapa waktu lalu, tersiar kabar bahwa para santri Ponpes Darut Thalib makan dengan lauk seadanya, para santri makan hanya dengan kerupuk, sayur dan cabai, bahkan pada hari hari tertentu para santri berpuasa. Puasa sunah yang bukan murni untuk ibadah, melainkan lebih dikarenakan tak ada lagi yang bisa dimakan.

Hal ini dibenarkan Boby Gustiadi. Menurutnya  sebenarnya ada beberapa alternatif yang bisa ditempuh. Yakni mencari pemasukan dana tambahan, atau mengurangi jumlah santri. Namun, Boby mengaku sangat tidak tega memulangkan sejumlah santri.

Pimpinan Pospes, Boby Gustiadi, dan sejumlah majelis guru lebih memilih mencari berbagai upaya untuk mencari dana operasional ketimbang memulangkan santri. Mereka berusaha keras mencari dana setidaknya Rp 5 juta untuk beras, Rp 8 juta untuk lauk pauk, Rp 500 ribu untuk air minum galon, ditambah biaya lainnya seperti listrik, air bersih, dan lain lainnya.

Pondok Pesantren Darut Talib tidak hanya terkendala dengan kebutuhan pokok santri, akan tetapi juga keteter dalam memenuhi kesejahteraan guru. Guru di sini hanya digaji antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 200 000.

Senin sore (2/3/2020), Pimpinan Ponpes Darut Thalib, Boby Gustiadi Thalib Bu’ulolo, kedatangan tamu Anggota DPRD Kota Solok, Rusdi Saleh. Kepada Rusdi Saleh Boby Gustiadi dengan wajah sumringah, mengucapkan terima kasih kepada Pemko Solok dan DPRD Kota Solok yang telah menganggarkan dana hibah ke pesantren Darut Thalib sebesar Rp 500 juta di APBD Kota Solok 2020. Pria kelahiran 11 Agustus 1994 ini, menuturkan dana tersebut dimanfaatkan untuk membangun bangunan baru di bagian kiri bangunan lama.

“Dana sebesar itu sangat berarti bagi kami dan para santri. Jangankan Rp 500 juta, Rp 1.000 saja sudah sangat berarti bagi kami,” ujar Boby.

Anggota DPRD Kota Solok yang Perwakilan Yayasan Darianis Yatim di Sumbar, Rusdi Saleh, mengatakan dirinya sangat tersentuh dengan kondisi Ponpes Darut Thalib. Menurutnya, disaat Yayasan Darianis Yatim sudah membangun 20 masjid di Kota Solok dengan dana puluhan miliar rupiah, ternyata masih ada lembaga pendidikan keagamaan dengan kondisi yang sangat memiriskan seperti ini.

Aktivis sosial in berjanji akan mengupayakan berbagai hal untuk membantu keberlangsungan Ponpes Darut Thalib ini. Baik sebagai anggota dewan, maupun kapasitasnya sebagai perpanjangan tangan Yenon Orsa, pemilik Yayasan Darianis Yatim.

“Yayasan Darianis Yatim bererak dibiadang sosial, seperti membantu biaya pendidikan dan membantu masyarakat yang butuh pertolongan. Ini merupakan komitmen moral kami di yayasan, dan tidak ada sangkut pautnya politik ataupun maksud-maksud lain,” kata Rusdi Saleh.

Lebih jauh ia mengatakan, Yayasan Darianis Yatim sangat berharap Boby dan keluarganya, serta majelis guru di Ponpes Darut Thalib, senantiasa menetapkan hati dan meluruskan niat membangun pendidikan agama. Ia juga mengharapkan Ponpes Darut Thalib berkembang pesat, sesuai niat awal pendirian. Kemudian, menjadi pesantren modern yang mandiri dengan berbagai unit usaha.

“Komitmen Yayasan Darianis Yatim bertemu dengan komitmen Ponpes Darut Thalib. Kita siap mencarikan solusi terkait kendala dan permasalahan yang terjadi. Kita harapkan Ponpes Darut Thalib menggunakan manajemen yang jelas. Sampaikan seluruh permasalahan yang ada dan mohon terima kami sebagai keluarga di Ponpes ini,” harapnya.

Simak Video : Ekspresi Guru Honor Dapat Hadiah Motor

Rusdi Saleh mengungkapkan, Yayasan Darianis Yatim selain membangun sarana ibadah seperti masjid, juga melakukan sejumlah kegiatan sosial lain di Sumatera Barat. Di antaranya bedah rumah masyarakat miskin, membantu pendidikan dari tingkat SD, SLTP, SLTA, hingga perguruan tinggi. Bahkan, saat ini, ada 4 mahasiswa yang dibantu biaya pendidikannya di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Untuk tahap awal,kata Rusdi Saleh, Yayasan Darianis Yatim menjamin seluruh kebutuhan makan minum dan gizi santri dan gaji guru sebesar Rp 50 juta perbulan. Kemudian  membantu kendaraan oreasional berupa sepeda motor.

Tidak hanya itu, jika semua bantuan ini digunakan tepat sasaran, maka seluruh guru dan pengasuh SDM-nya akan ditingkatkan dengan melakukan study banding ke pesantren yang ada di Pulau Jawa secara bertahap.

Menyambut niat baik Yayasan Darianis Yatim ini, Pimpinan Ponpes Darut Thalib, Boby Gustiadi Thalib Bu’ulolo merasa sangat terbantu. “Alhamdulillah, sekarang ada pihak Yayasan Darianis Yatim yang mau membantu. Kami merasakan memiliki orang tua lagi,’  kata Boby.


 

Menarik dibaca