Padang Panjang, Spiritsumbar.com — Kasus stunting (gangguan pertumbuhan) pada anak di Kota Padang Panjang relatif tinggi, yakni 20 %. Solusi, perlu upaya/dukungan kolektif. Tidak cukup usaha siibu bayi dan keluarganya. Apa lagi jika ibu bayi dan keluarganya itu miskin, tinggal di lingkungan kumuh.
Itulah antara lain poin inti dari Pertemuan Analisah Situasi dan Pemetaan Program Stunting (PASPPS) – Aksi-1 dengan narasumber Andre Ola dari Bappeda Sumbar; Faizah (Kepala DKK Padang Panjang); dan Argus Saadah (Sekretaris Bappeda Padang Panjang) di Hotel Rangkayo Basa, Padang Panjang, penghujung Mei 2022 ini.
Data kasus stunting 20 % tadi hasil survey SSGI yang dilakukan secara sampling oleh surveyor dari Kemenkes RI atas 70 anak balita di sebagian (7) kelurahan Kota Padang Panjang pada 2021. Jumlah itu lebih besar dari data EPPGBM laporan kegiatan PosYandu di semua (16) kelurahan kota ini pada 2021, yakni 15,57 %.
Lalu, kenapa dua data ini beda cukup tajam? Itu lah yang cukup banyak diperbincangkan di pertemuan yang diikuti oleh sejumlah OPD terkait di Padang Panjang, seperti Dinas Sosial, Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas PU, Dinas Perkim-LH, Dinas Pertanian, Dinas Kominfo, Kemenag, di samping DKK (selaku pelaksana pertemuan) itu.
Terpisah, Spiritsumbar.com peroleh keterangan dari Kabid Kesmas, DKK Padang Panjang, Rahmaisa, pada 2021 lalu surveyor SSGI (Survey Status Gizi Indonesia) dari Kemenkes RI didampingi tenaga DKK kota ini turun ke 7 kelurahan di Padang Panjang, di antaranya Ikua Lubuk, Koto Panjang, Pasausang, Bukik Surungan dan Silaiang Bawah.
Pada setiap kelurahan, sesuai petunjuk BPS, mereka mengunjungi 10 anak balita (bawah lima tahun) di rumah orang tuanya. Di situ mereka mengukur panjang badan, lingkar kepala dan lengan atas serta berat badan si anak. Kepada ibunya, antara lain ditanya jenis konsumsi si Ibu dan anaknya. Hasilnya, dari 70 anak itu ada 20 % stunting.
Sedang stunting 15,57 % berdasarkan data EPPGBM (Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) diambil dari kegiatan penimbangan anak balita di seluruh PosYandu kota ini, ditambah kunjungan kader Posyandu ke rumah orang tua si –anak. Hasilnya, dari 3.333 anak diukur, 519 anak (15,57 %) stunting.
Tapi betul, tidak semua anak balita warga Kota Padang Panjang pada 2021 itu yang berhasil ditimbang. Karena ada 411 orang an
ak atau sekitar 11 % yang tidak dibawa oleh ibu atau keluarganya ke Posyandu, dikunjungi oleh kaders Pos Yandu ke rumah keluarganya tidak pula berada di tempat.
Inilah salah satu persoalan yang ditemui di lapangan terkait upaya optimal layanan Posyandu pada anak balita, sebagai bagian dari upaya mencegah/mengatasi kasus stunting di Padang Panjang. Sebab, bagi anak yang tidak dapat layanan Posyandu itu, kader Posyandu jadi tidak tahu pertumbuhan anak tersebut, juga jenis konsumsinya.
Contoh persoalan lain, seperti terungkap lewat pertemuan PASPPS – Aksi-1 itu, masih ada rumah di Padang Panjang yang sanitasinya buruk/kurang baik. Informasi ini paralel dengan fakta yang terungkap terpisah dari Kabid Esdai Bappeda Padang Panjang, Erni, di kota ini ada belasan titik lingkungan kumuh kategori ringan.
Fakta terkait lainnya, terpisah dari Dinas Perkim-LH Kota Padang Panjang, seperti terungkap dari Kabid Perkim-LH nya, Nurasrizal, di kota ini masih terdapat 432 unit lagi rumah tidak layak huni (Rutilahu). Jumlah itu setelah dikurangi 52 unit sudah direnovasi pada 2021 lalu lewat program bantuan Kementerian PU-PR.
Untuk diketahui, kasus stunting pada anak bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, terutama, faktor asupan gizi yang kurang pada si anak sejak ibu hamil sampai menyusui selama 2 tahun, terus sampai anak usia 1.000 hari; sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan; dan sanitasi yang buruk.
Karenanya, upaya mencegah munculnya kasus stunting pada anak perlu upaya/dukungan kolektif dari pihak-pihak terkait. Tidak cukup usaha si ibu anak dan bantuan keluarganya.Terlebih, bagi keluarga ekonomi miskin/kurang mampu, tinggal di rumah lingkungan kumuh, dan sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat.
Seperti sanitasi yang bermasalah, perlu peran Dinas PU. Jika ada keluarga kurang paham atau kurang peduli akan pentingnya asupan gizi pada ibu dan bayi tadi, perlu peningkatan sosialisasi oleh DKK. Bila perlu, libatkan mubaligh/ulama dalam kegiatan sosialisasi.
Tapi, jika asupan gizi pada ibu hamil dan bayi itu minim/kurang, karena kemiskinan, maka perlu bantuan dari pihak terkait lain seperti BAZ, di samping peningkatan peran Posyandu Yandu. Sebab, kesulitan seperti itu akan rawan terjadi, mengingat angka kemiskinan di Padang Panjang mencapai 5,57 %, relatif tinggi.(jym/yet).–