“Itu menunjukkan penanganan karhutla dan bencana asap, itu kurang efektif. Penanganan lebih kepada pencitraan penegakan hukum. Sekian perusahaan sudah kita tindak, itu biasanya yang ditekankan. Pemprov dan Pemkab/Pemkot kurang intensif terlibat karena kurang sumber daya dan dana. Penanganan bias ke tahun terjadinya bencana asap. Jadi budget ngucur saat terjadinya bencana, ketika tidak ada bencana, lembaga klaim digunakan untuk memperbaiki sistem,” kata Drajad.
Secara terpisah, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menjelaskan bahwa kasus karhutla membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter karbon terbesar di dunia. Dirinya memfokuskan pada pengurangan deforestasi dan pembakaran untuk pembukaan lahan. Saat ini masih banyak industri yang menggunakan pembakaran untuk land clearing.
“Setiap tahun di musim kering kita punya permasalahan. Deforestasi dan kebakaran hutan menyumbang emisi karbon terbesar. Tanpa adanya pengurangan deforestasi, Indonesia tidak akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon,” ucapnya.