Akibatnya, masyarakat menjadi geram, bantuan yang di iming imingi pemerintah itu telah menengelamkan isu COVID19 YANG terus mengancam. Bahkan sampai sampai masyarakat memalang kantor wainagari/Desa. Sementara Walinagari/Kepala Desa terbatas dalam kebijakan kebijakan, baik dalam melahirkan regulasi dalam nilai nilai kearifan lokal tak diberikan peluang. Sebagai pemerintah terendah kami dalam dilema dan tekanan dari pemerintah diatas dan tekanan dari masyarakat.
Persoalan demi persoalan memasuki babak baru, data penerima bantuan dari pemerintah pusat itu telah dinilai akurat dan tak bisa lagi kami robah, dengan keterpaksaan kami Walinagari/Kepala Desa menandatangani persetujuan data yang telah di SK oleh Kementerian Sosial RI, sebab data tersebut dilbilang akurat oleh pemerintah pusat, meski nama nama dan data tersebut ada warga yang telah meninggal, ada warga yang pindah serta warga yang telah berobah status ekonominya. Bila merujuk data saat ini mereka masih berhak, meski telah berada di alam baqa. Data DTKS yang selalu dibanggakan itu masih mengacu pada data tahun 2014.
Tambahlagi data dan nama penerima BLT Pusat yang telah di keluarkan SK Kemensos RI terjadi lagi pengurangan dari jumlaj SK sebelumnya. Salah satu contohnya di Nagari/Desa Batang Barus yang saya pimpim, data awal berjumlah 250 KK penerima, kini berobah menjadi 219.