PADANG SliritSumbar.com – Kinerja pasar saham Tanah Air mampu ditutup pada zona positif di tengah bursa saham Amerika Serikat (AS) yang tengah mengalami tekanan cukup hebat.
Bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan kenaikan 0,74 persen ke level 6.690,09 pada perdagangan Kamis (14/7/2022),
Aktivitas perdagangan tergolong sedikit lebih sepi dengan nilai transaksi Rp10,67 triliun, di mana investor asing tercatat menorehkan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp485,29 miliar di pasar reguler.
Pergerakan IHSG Rabu (13/7) sepertinya enggan mengikuti Wall Street yang berguguran pasca rilis data inflasi AS yang kembali naik. Dimana kondisi ini semakin memicu kecemasan bahwa resesi akan mendekat lebih cepat.
Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Juni melesat 9,1 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau jauh melampaui ekspektasi pasar yang sebesar 8,8 persen.
Angka tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi bulan sebelumnya di 8,6 persen dan menjadi rekor inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Inflasi inti, yang mengecualikan barang dengan harga volatil seperti makanan dan energi, juga melambung, yakni sebesar 5,9 persen, melampaui estimasi yang memperkirakan angka 5,7 persen. Inflasi inti dianggap mencerminkan daya beli masyarakat.
Rilis data IHK tersebut akan mendorong Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya 75 basis poin (bps) di pertemuan selanjutnya.
Padahal, bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 75 bps (terbesar sejak 1994) jadi 1,5-1,75 persen.
“Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang,” tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC International.
Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi pada Rabu malam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.
Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1 persen Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.
Semakin agresif the Fed dalam menaikkan suku bunga acuan, maka risiko outflows dari negara berkembang seperti Indonesia akan semakin tinggi.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar) bertambah 7 basis poin ke 3,03 persen, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun melompat 11 basis poin menjadi 3,16 persen.
Artinya, terjadi kurva inversi di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi