“Ibu adalah sosok yang sangat sentral dalam kehidupan saya, tidak akan pernah bisa saya membalas jasa beliau dan selalu terbayang dalam benak Saya bagaimana Ibu saya mencari nafkah untuk membesarkan dan menyekolahkan anaknya. Beliau pergi pagi dan pulang sebelum magrib setiap hari dengan berjualan kopi (sabuak) dan kerupuk kulit (karupuak jangek) di Pasar Lereng Bukittinggi,”ujar Mulyadi tak kuas menahan derasnya air mata jatuh ke wajahnya.
Ibu harus membanting tulang demi anak-anaknya karena bapak hanya seorang pensiunan veteran.
“Tidak ada sedikitpun tergambar rasa lelah diraut muka ibu saat berjualan di tengah teriknya matahari dan hujan demi utk menghidupi ketiga anaknya. Bahkan Saya tidak pernah lupa ketika SMA dan Kuliah di Bandung setiap bulan mangambil uang kiriman beliau melalui Weselpos. Begitupun kenangan bersama ketika pergi naik haji, Alhamdulillah dalam menunaikannya selalu mendapat kemudahan, meskipun pada saat itu beliau sudah berumur 70 tahun, namun dapat melaksana seluruh rangkaian haji dalam keadaan sehat dan penuh semangat,”ujar Mulyadi.
Bagi Ir H Mulyadi, sosok ibu adalah kebanggannya.
“Saya sangat bangga punya Ibu seperti beliau, hal tersebut sering Saya sampaikan kepada anak Saya sebagai sebuah teladan yang perlu kami tiru dalam kehidupan,” ujar Mulyadi dengan raut wajah masih bersedih. (***)