Heboh Shalat Berbayar di Masjid Terapung Painan

oleh

Sebagaimana telah diprediksi, pengunjung objek wisata bakal membludak. Hal ini tidak terlepas, karena para perantau sudah terkekang 2 tahun tidak boleh berlebaran di kampung halaman.

Baca Juga :  Inovasi dan Digitalisasi Memakmurkan Masjid

Diperbolehkannya, tahun ini secara otomatis para perantau berlomba untuk bersilaturrahim dengan sanak saudara di kampung halaman. Tak ketinggalan, secara bersama bersenda gurau sambil mengunjungi objek wisata.

Para perantau sudah rindu dengan berbagai destinasi wisata yang telah menjadi perbincangan, terutama di dunia mayatenar. Cantik, indah, elok dan seakan telah menjadi magnet untuk segera berkunjung dan melihat secara langsung.

Pada awalnya diperkirakan 1,8 juta akan memasuki Ranah Minang,justru terlampaui. Dari berbagai sumber, namun belum terpublikasi mereka yang mengunjungi Ranah Minang malah mencapai 2,1 juta.

Tip & Trik

loading…

Mereka yang mengunjungi Sumbar, tidak hanya para perantau tapi juga para pelancong yang ingin menikmati keindahan Ranah Minang. Baik sosial budaya, tata bergaul antara perantau dan sanak saudarannya dan destinasi wisata.

Rasa penasaran semakin mendalam, lantaran mendapat informasi, kemacetan telah menjadi hiasan untuk mencapai objek wisata yang makin tenar. Macet, berarti orang makin berebut untuk berkunjung.

Tentu ada hal yang sangat menarik dilirik dan didokumentasikan. “Jika kalah selangkah, berarti tertinggal,” begitulah prinsip para pengunjung yang seakan telah menjadi jurnalis dadakan.

Live streaming atau siaran langsung di media sosial, berfoto ria dengan berbagai kalangan, makin membuat destinasi menjadi tenar. Semua daerah yang dikunjungi dipublikasikan melalui media sosial.

Kehadiran media sosial betul-betul telah mampu merubah mindset atau pola pikir seseorang begitu cepat. “Jika kalah se-klik, berarti didahului orang lain,”

Cek dan ricek untuk kebenaran informasi, bagi mereka itu belakangan. Yang jelas, deadline harus dikejar agar menjadi headline di media sosial.

Momen inilah yang dimanfaatkan oleh salah satu, pemilik akun media sosial. Dia berhasil menciptakan Masjid Samudera Illahi Pantai Carocok Painan, Kabupaten Pesisir Selatan menjadi viral. Saking semangatnya, mengunggah, dia tidak bisa lagi membedakan antara distribusi dengan retribusi.

Adanya unggahan terkait karcis masuk di masjid terapung pada media sosial tersebut, justru makin menciptakan rasa penasaran banyak orang. Apalagi, beragam status dan komentar sudah bak bola liar.

Citizen journalism atau jurnalis warga pun bermunculan dengan beragam penafsiran. Tentu juga dengan berbagai kesimpulan sesuai dengan pemikiran dan tujuan masing-masing. Bagi yang berpikiran negatif (negative thingking) tentu semua akan buruk. Bahkan, status dan komentar mereka tidak lagi masalah karcis masuk, tapi telah merambah kemana-mana.

Menariknya, tidak hanya sekedar mengaitkan dengan masuk masjid harus bayar. Tapi lebih dari itu, mereka menafsirkan, hanya di Masjid Terapung Painan, shalat harus bayar.

Namun, bagi yang berpikiran positif (positive thinking) justru menganggap lumrah. Karena, masjid itu terletak di dalam kawasan objek wisata.

Retribusi adalah bentuk pungutan yang mendapat imbalan langsung bagi pengunjung. Karena objek wisata butuh biaya penataan dan perawatan. Retribusi itulah sebagai sumber biayanya. Tentu juga bagian dari sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Kalau hanya sekedar shalat, kenapa harus ke masjid terapung? Disekitar objek wisata Pantai Carocok tersebut, juga banyak masjid dan mushalla. Kecuali, kalau sudah didalam Pantai Carocok, ada lagi pungutan ke lokasi masjid, ini baru tidak benar. Faktanya, kan tidak!

Hanya untuk masuk kawasan wisata Pantai Carocok saja yang dikenakan retribusi. Hanya saja, pintu masuk ke objek wisata berada di pintu masuk masjid. Artinya, ke objek wisata Pantai Carocok yang dikenakan retribusi. Kalau sudah didalam, silahkan manfaatkan masjid untuk mensyukuri rezeki yang telah diberikan Yang Maha Kuasa. Gratis kok.

Kalau mau menambah tabungan akhirat, juga ada tempat infaq dan sadaqah yang disediakan. Tapi sebagai saran, saat berinfaq, tak usah pula difoto atau rekam. Agar terjauh dari riya.

Jadi, sebagai saran pada pengelola wisata Pantai Carocok. Sebaiknya, pintu masuk atau tempat retribusi tidak berada di pintu masuk masjid. Juga mengoptimalkan gerbang masuk yang telah ada. Selain itu, retribusi parkir sudah include dengan pemanfaatan objek wisata.

Kapan perlu, untuk memanjakan pengunjung, pihak pengelola objek wisata Pantai Carocok bekerjasama dengan perusahaan minuman atau makanan ringan. Dengan memberikan minuman dan makanan “gratis” pada pengunjung saat membayar retribusi. Sebagai kompensasi, pihak pengelola menyediakan space iklan pada pihak ketiga tersebut.

Hal ini, tentu melalui kesepakatan dan kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU). Artinya, tidak hanya sekedar bantuan produk saja. Tapi, bantuan lain melalui ivent yang dikemas secara rutin di Pantai Carocok.

Hal yang lebih penting, viralnya, Masjid Terapung harus dimaknai secara positif. Hal ini, tidak perlu ada yang disalahkan. Apalagi, kalau sampai pula ada jatuh korban. Karena, perkembangan teknologi telah merubah pola pikir dan etika dalam bersaksi dan beraksi. Menghakimi dan memvonis sudah menjadi hal lumrah, terutama dalam memanfaatkan media sosial.
Sebelumnya

 

 

Menarik dibaca