Nasrul Abit menyatakan, orang minang itu egaliter, bahwa ia tidak mau menyambah-nyambah, mereka kritis tidak bisa menerima saja, mesti punya argumentasi yang logika dala, kecerdasan berpikir.
“Ada penilai sinyalamen anak-anak muda kita tidak kenal lagi budaya minang, akan tetapi setelah dilakukan penilai waktu lomba kita salah menilai, anak-anak muda kita itu memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam adat istiadat dan adat yang diadatkan. Tahu jo nan ampek , tahu jo rukun 13, kato malereng, kato mandaki, kato mandata,” ujarnya.
“Namun mungkin ada beberapa anak muda kita yang memang kurang paham dan taktahu, termasuk ungkapan kepada anak gadih minang, apakah bisa menjahit, menyulam dan memasak. Hal ini mungkin menjadi pendalaman nilai-nilai budaya tersebut sehingga budaya minang itu ada dalam pribadi masyarakatnya setiap generasi,” ungkapnya.
Nasrul Abit juga menyampaikan, budaya merantau orang minang itu merupakan upaya merubah peruntungan hidup apakah dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan dalam pendidikan, maupun dalam ikut serta berperan kedudukan dalam pemerintahan. Bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kreatif para anak muda kita menatap masa depan pembangunan daerah yang lebih baik lagi.