Dalam Jamaah Tabligh, katanya, persoalan politik, kilafiah, pangkat/jabatan, dan aib masyarakat tabu dibicarakan dalam organisasi. Dalam Jamaah Tabligh, keputusan yang diambil jemaah melalui musyawarah dan mufakat, termasuk untuk menjadi imam, khatib Jumat, dan azan, dimusyawarahkan.
“Kalau ada yang mendukung (paslon pilkada), itu oknum. Jangan membawa nama Jamaah Tabligh. Kami netral. Soal partisipasi, jangan ditanya, kami paling dulu ke TPS. Pokoknya kami tidak berpolitik,” katanya.
Soal Mahyeldi, Sutrisno Abu Bakar menjelaskan bahwa saat itu Mahyeldi ingin shalat di Masjid Madinatul Munawwarah dan minta waktu menyampaikan tausiyah dan dipersilahkan oleh jemaah yang hadir.
“Hal itu boleh saja. Kami tidak melarang, masa iya orang shalat dilarang. Siapa pun boleh shalat di Masjid Madinatul Munawwarah, termasuk keempat calon gubernur. Tapi, tentu banyak muatan politisnya sebab ini kan masa kampanye. Walaupun yang menyampaikannya Buya (Mahyeldi), yang disampaikan yang haq (kebenaran),” tuturnya.