Namun, yang namanya Ahok seperti jumawa sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mulutnya tetap ceplas ceplos tanpa mempedulikan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Bahkan, dia seperti tak peduli dengan sistem demokrasi yang telah terbangun. Dimana, dengan jiwa besar para politisi dari kaum muslim, dia sebagai kaum minoritas telah diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tinggi di negeri ini.
Sebagai gubernur non muslim di daerah mayoritas muslim, mestinya Ahok bisa menempatkan diri. Apapun alasannya, Ahok tidak perlu membawa-bawa Kitab suci muslim dalam menghadapi kelompok muslim. Kalau, ingin membawa kitab juga, sampaikan kitab sendiri. Dan cari isi yang tidak jauh berbeda dengan Kitab suci muslim. Apalagi, Ahok akan berhadapan dengan kelompok politik dari kalangan muslim tentu akan berimplikasi besar. Disamping tak ada kawan yang abadi, dalam dunia politik praktis, hal kecil bisa menjadi besar dan sebaliknya.
Bagi kalangan non muslim, tak perlu pula harus merasa tersakiti. Karena, persoalan Ahok tidak ada kaitannya dengan agama lain. Begitu juga etnis lain, tak perlu pula merasa terganggu, karena hal ini menyangkut pribadi Ahok dengan umat muslim.
Timbulnya gejolak pada umat muslim, bukan karena Ahok bermata sipit atau dia non muslim. Tapi, karena perbuatannya yang bermain api dengan kitab suci muslim.