PADANG SpiritSumbar.com – Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) memiliki potensi yang dijadikan komoditas unggulan. Bahkan, sektor perkebunan sebagai salah satu unggulan dengan pasar ekspor yang besar. Seperti, gambir, karet, kakao dan kelapa sawit.
Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Pertanian Unand, Indra Dwipa, saat menjadi salah satu narasumber dalam seminar publik penyusunan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang tata kelola komoditas unggulan perkebunan Sumbar di gedung DPRD Sumbar, Rabu (11/1/2023)
Namun dia menyayangkan, saat ini komoditas unggulan itu makin susah berkembang, petaninya pun sering mengalami kesulitan ekonomi. Keempat potensi komoditas ini perlu diselamatkan karena mampu menjadi penyokong perekonomian Sumbar.
“Contohnya gambir. Kebutuhan gambir dunia ini 80 persennya dari Sumbar. Tapi petaninya banyak yang kesusahan hidup. Jika dibiarkan maka minat menanam gambir akan makin hilang,” ujarnya.
Lalu kakao, dulu Jusuf Kalla saat menjabat Wakil Presiden RI mencanangkan sumbar sebagai sentra kakao pada Tahun 2006. Indonesia bahkan menjadi produsen kakao terbesar di Indonesia.
Namun, menurut dia, kondisi kakao Sumbar saat ini justru luas perkebunannya makin berkurang. Kebun yang ada bahkan banyak terlantar. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada karet dan kelapa sawit.
Indra memaparkan ada sejumlah permasalahan umum yang terjadi pada sektor perkebunan Sumbar. Ini terjadi pula pada komoditas unggulan yang harusnya mendapatkan perhatian lebih.
Beberapa permasalahan yakni rendahnya harga jual di tingkat petani, harga dikendalikan tengkulak, alur tata niaga yang panjang, belum adanya regulasi untuk beberapa tanaman perkebunan di Sumbar, minimnya penyuluhan sektor perkebunan dan tidak adanya dinas khusus perkebunan yang bisa lebih berfokus pada sektor ini.
“Perlu ada jaminan harga untuk pembelian komoditas ini dari petani. Perlu ada pula regulasi yang mengatur tata niaga dan roadmap yang jelas dalam pengembangan komoditi tersebut,” paparnya.
Sejumlah asosiasi petani komoditas perkebunan juga hadir dalam seminar tersebut. Mereka kurang lebih mengatakan hal yang sama. Yakni persoalan rendahnya harga jual petani dan harga ditentukan tengkulak hal ini menyebabkan minat menanam komoditas tersebut makin tergerus.
“Tengkulak yang tentukan harga. Mereka beli dari petani murah, lalu tengkulak menjual lagi dengan harga mahal, bahkan dalam dolar,” ujar salah perwakilan asosiasi.
Ada permasalahan lain yakni kurangnya pengetahuan dan penyuluhan pada petani terkait bagaimana bisa memproduksi hasil perkebunan dengan jumlah banyak dan berkualitas. Terkadang masalah petani Sumbar adalah kualitas yang buruk, padahal sebenarnya bisa lebih bagus dan dihargai lebih tinggi.