Cairnya Dikotomi Ranah dan Rantau

oleh



Di masa-masa itu dikotomi antara ranah dan rantau sangat tajam sekali karena keterbatasan ruang dan waktu. Berkirim kabar pun hanya lewat surat menyurat, kemudian baru ada telpon. Tetapi sekarang di saat semuanya sudah borderless (tanpa sekat) dan teknologi informasi yang maju pesat, dikotomi antara ranah dan rantau itu sudah mencair. Hampir tidak ada lagi pembatasnya. Sekarang orang dalam hitungan jam bisa berpindah ke rantau, begitu juga sebaliknya.

Saat ini orang yang pergi ke Jakarta bisa duluan sampainya dari orang yang ke Bukittinggi. Dan ke Jakarta itu sekarang banyak pula yang balik hari. Pagi pergi, parkir mobil di bandara, malamnya sudah pulang lagi. Dalam interaksi sosial bahkan lebih cair lagi, sebab dalam hitungan detik kabar di ranah bisa dilihat di rantau. Hampir semua nagari di Sumbar sekarang sudah masuk telpon seluler dan bisa internet-an. Begitu juga kabar dari rantau, orang di ranah dalam detik itu juga sudah dapat cerita.

Tetapi secara emosional dan kultural, ranah dan rantau itu tetap beda. Di saat-saat Hari Raya Idul Fitri inilah orang rantau merindukan berlebaran di ranah, di kampung halaman. Di samping bisa memperlagakkan keberhasilan dan kesuksesan di rantau, sekaligus menjadi ajang pelepas rindu akan sanak saudara, kawan-kawan, makanan (kuliner) dan suasana ranah yang adem.

Menarik dibaca