Oleh : Feri Fren ( Widyaiswara LPMP Sumbar )
Sebentar lagi umat Islam akan merayakan hari kemenangan (Idul Fitri), budaya pulang kampung (mudik) pun akan segera terjadi. Bagi masyarakat yang berada diperantauan hal ini merupakan kegiatan rutin yang selalu ditunggu-tunggu untuk melepaskan kerinduan dengan sanak keluarga serta karib kerabat yang berada di kampung halaman.
Sambil saling mengunjungi dan bermaaf-maafan dengan mengucapkan kata minal aidin wal faizin, rasa letih setelah setahun bekerja di perantauanpun hilang dibuatnya seketika.
Namun untuk Hari Raya Idul Fitri tahun ini kegiatan rutinitas tahunan yang selalu di tunggu-tunggu itu mungkin tidak akan bisa terjadi lagi, hal ini disebabkan karena wabah Covid-19 sedang melanda seluruh pelosok negeri dan telah banyak memakan korban. Pemerintah menghimbau masyarakat untuk lebih berdiam diri di rumah dan tidak melakukan mudik, agar penyebaran virusnya bisa dikurangi.
Tradisi pulang mudik bagi perantau yang berasal dari suatu daerah di sebuah kota ada pula yang dilakukan secara bersama-sama dengan istilah mudik bareng. Untuk daerah asal Sumatera Barat kegiatan pulang kampung serentak seperti ini dikenal juga dengan istilah pulang basamo (pulang bersama).
Mudik berasal dari kata mau ke udik (pulang kampung). Menurut Wikipedia pengertian mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Maka apapun pekerjaannya, biasanya para perantau selalu berusaha untuk bisa bertemu dengan keluarga serta karib kerabatnya di kampung halaman dalam rangka merayakan hari Idul Fitri setelah selama satu bulan mereka melaksanakan ibadah Ramadhan.
Ada yang pulang mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi dan ada pula yang memakai jasa angkutan umum. Bagi mereka yang berekonomi bagus, mereka bisa pulang mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi atau dengan jasa pesawat terbang. Akan tetapi bagi mereka yang berekonomi menengah tak jarang kita mendengar, mereka pulang mudik dengan berdiri di atas angkutan umum, bahkan ada yang bersedia duduk diatas gerbong kereta api.
Kondisi lain yang tidak mengenakkan pemandangan namun harus dilalui oleh para pemudik adalah, berdesak-desakan, berkejar-kejaran saat menaiki angkutan umum, ada yang terjepit bahkan ada pula yang terjatuh dan terinjak-injak.
Kadangkala tak jarang pula dari mereka ada yang tidur satu bahkan sampai dua malam terlebih dahulu di stasiun atau terminal pemberangkatan angkutan umum supaya mereka bisa mendapatkan tiket pulang mudik untuk menuju ke kampung halamannya.
Mereka tidak peduli dengan harga tiket atau sewa kendaraan yang mahal. Tidak peduli waktu dalam perjalanan yang ditempuh sangat lama dan berjam-jam. Bahkan tidak peduli juga dengan cuaca ekstrim yang akan mereka alami selama dalam perjalanan, itu semua rela mereka lakukan demi sebuah kata “mudik”.
Mudik menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat yang berasal dari perantauan. Mereka bisa berkumpul kembali dan bergembira dalam merayakan hari kemenangan di tengah hangatnya kasih sayang keluarga dan karib kerabatnya.
Mereka seperti menemukan kembali hakikat kehidupannya yang telah hilang beberapa waktu lalu. Setelah bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga di perantauan, hasrat dan naluri sebagai bagian dari keluarga pun terpanggil untuk kembali pulang berkumpul bersama mereka. Inilah budaya mudik yang sering terlihat dalam budaya dan kebiasaan masyarakat kita.
Bentuk usaha lain yang mereka lakukan agar kegiatan mudik dapat terlaksana adalah dengan menabung untuk mengumpulkan uang setahun lamanya, memanfaatkan uang Tunjangan Hari Raya (THR), melakukan kerja lembur untuk mendapatkan uang lebih, bahkan membuat hutang sekalipun rela mereka lakukan asal kegiatan pulang mudik dapat terlaksana.
Mudik banyak memberi manfaat dalam kehidupan pribadi dan sosial. Pertama, mudik dapat meningkatkan jalinan silaturrahmi dengan sesama keluarga, karib kerabat, dan masyarakat lainnya di kampung halaman.
Kedua, terjadinya perpindahan dan perputaran uang dari kota ke desa sehingga terjadi pemerataan perekonomian yang selama ini hanya terpusat di kota besar saja sekarang bisa menyebar ke kampung halaman.
Ketiga, terjadinya kepedulian sosial antara sesama masyarakat. Biasanya di hari lebaran mereka yang pulang mudik memiliki harta berlebih akan membantu dan memberikan sebahagian hartanya kepada saudara atau tetangganya yang lain yang sangat membutuhkan.
Keempat, membawa berkah bagi pelaku ekonomi lainnya, misalnya terjadinya peningkatan pendapatan di sektor transportasi, industri, jasa pariwisata, telekomunikasi, tekstil, peralatan rumah tangga, toko bahan bangunan, elektronik, otomotif, asuransi dan lain sebagainya.
Kelima, semarak syiar Islam akan lebih terasa, hal ini dapat kita lihat pada saat shalat Idul Fitri, hampir semua masjid dan lapangan tempat Shalat Ied penuh penuh sesak dengan jemaah karena banyaknya perantau yang pulang mudik.
Bila kita cermati lebih dalam, mudik dapat pula meningkatkan rasa syukur kepada allah, dapat menimbulkan kepedulian antar sesama, toleransi, tanggung jawab, rasa hormat, kerjasama dan lain sebagainya. Kesemuanya itu adalah merupakan bagian dari nilai-nilai karakter bangsa yang selama ini kita dengung-dengungkan.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan, hal itu terlihat dalam suasana mudik.
Untuk kegiatan mudik pada tahun ini marilah dengan penuh rasa kepedulian sebagai warga negara yang baik dan demi keselamatan kita bersama, sama-sama kita taati himbauan dari pemerintah untuk tidak pulang mudik agar penyebaran virus Covid-19 bisa dihentikan.
Kita semua berdoa dan berharap agar bisa keluar dari permasalahan ini dan bisa kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H, mohon maaf lahir dan bathin.