In Memoriam : Perginya Seorang Sastrawan/ Seniman Sumbar. Selamat Jalan Rhian D’Kincai

oleh
Saya tergagap begitu membaca status seorang teman  facebook yang mengabarkan, Rhian D’Kincai berpulang menghadap sang kaliq sekitar pukul 22.30 wIb, Senin 24/ 10/ 2022. Sesaat kemudian dengan nada tercekat saya sampaikan kabar duka itu ke ayahnya anak anak. Si sulung ikut mendengar kabar itu langsung keluar kamar dan menyela, “ Ah,masa iya, bukankan kemarin bunda masih menelepon Om Kincai?”
Saya tercenung, kemudian sibuk dengan hape mencari tahu kebenaran berita itu. Sekian teman dan handai taulan yang dihubungi mengatakan baru sebatas membacanya di medsos. Hingga pergantian hari saya ikuti perkembangan berita itu kian banyak menghiasi dinding facebook, whatsapp grup dan instagram.
Saya mengenal Abang Rhian D’ Kincai sejak 1988 saat beliau menjadi Redaktur edisi Minggu HU Semangat. Waktu itu almarhum masih memakai nama pena “ Syafnir Mali.” Kemudian bertemu lagi di Tabloid Publik dimana beliau menjadi Pemimpin Usaha hingga 2009 dan kemudian mendirikan Tabloid Berita Editor pada 2010 tempat saya bergabung menjadi wartawan hingga saat ini.
Bang Rhian bagi saya tak hanya sebagai rekan kerja,tapi sekaligus sahabat dan kakak untuk saling berbagi cerita, diskusi tentang topic hangat yang layak untuk diberitakan . Keluarga kami dengan keluarga almarhum sudah cukup dekat,apalagi sejak ketiga putra putri dan penokan saya ikut sebagai wartawan Editor sejak mereka SMA, dan baru berhenti begitu masuk perguruan tinggi.
 Selain  menulis untuk Editor saya juga menjadi wartawan Tabloid The Public dan spiritsumbar.com. Saya intens berkomunikasi dengan almarhum terlebih mendekati deadline.Minta tunggu berita, minta tunggu iklan,minta ralat berita dan lainnya. Biasanya saya mengawali dengan “ baa kaba Bang,lai sehat Bang?” Itu lantaran saya tahu bang Kincai sapaan saya untuk beliau, beberapa kali pernah dirawat di RS, salah satunya November 2020.
Pernah suatu kali kami besuk beliau di RS Stroke Bukittinggi.
Itu sudah di zaman covid juga, pengunjung dilarang masuk.Namun karena sudah terlanjur datang, saya telepon istrinya. Uni Linda yang menjabat sebagai kepala sekolah dasar di Lubuk Selasih. Oleh Uni Linda Bang Kincai diminta berdiri di tepi pintu dan memandang kami di bawah. Sesaat kemudian Uni Linda menemui kami ke lantai dasar bercerita kesehatan Bang Kincai yang mulai membaik.
Atas, Dua Dari Kanan Rhian D'Kincai Masih Sempat Reunian Bersama Sahabat Smp Nya Di Sungai Penuh.
Atas, dua dari kanan Rhian D’Kincai masih sempat reunian bersama sahabat SMP nya di Sungai Penuh.
Dari bawah saya melambaikan tangan dan memberi semangat dengan mengacungkan jempol, dan dijawab Bang Kincai dengan senyum dan lambaian tangan pula dari lantai  tiga tempat dia dirawat.” Berasa dalam filem saja,” canda saya waktu itu hingga membuat Uni Linda dan ayahnya anak anak melepas senyum.
Telponan sama Bang Kincai tak cukup sebentar, ada ada saja ceritanya, termasuk  kisah mudanya dulu. Selama ini masyarakat Sumbar lebih mengenal beliau sebagai wartawan senior, sastrawan, budayawan, dan pencipta lagu. Tapi,mungkin belum banyak yang tahu kalau beliau merupakan alumni mahasiswa prodi Biologi Universitas Indonesia (UI) di era tahun 70-an.
Menurut cerita Bang Kincai, masa remaja dia pernah tinggal di rumah tokoh pers nasional, Rosihan Anwar di Jakarta ( kalau tak salah hingga tahun 1979). Dia amat disayang oleh Rosihan yang kala itu menjadi Pemred Harian Pedoman dan kolumnis di Asiaweek Hongkong, dan se abrek media massa sebagai penulis freelance. Dari sastrawan dan sejarawan inilah Bang Kincai banyak belajar menulis. Rosihan yang asli orang Sirukam, Solok , Sumbar, juga mendorong agar Bang Kincai melanjutkan kuliah UI.
Belum lagi STTB yang mencantumkan nama aslinya, Safnir Mardian  dipergunakan, sang Abak ( ayah) minta Bang Kincai pulang ke kampung, Sungai penuh,  Jambi,  daerah perantauan kedua orang tuanya dari Kabupaten Agam,Sumbar   sejak tahun  1949. Alasan abaknya, khawatir Bang Kincai masuk sebagai PNS di perantauan. Abak, Munir  kurang setuju anaknya masuk PNS, cerita Bang Rhian Kincai kepada saya, seraya mengutip ucapan abaknya puluhan tahun lalu itu, “Kalau ang ( kamu) sayang ka abak pulanglah,”
Sejalan dengan Abak, Bang Kincai tak hendak melangkah masuk PNS. Sesuai jiwa dia berkiprah di bidang seni dan sastra. Setidaknya telah 150 lagu Minang ciptaan almarhum, salah satu “ Bungo Lambah Gumanti” yang dinyanyikan Gamawan Fauzi waktu itu menjabat Bupati Kabupaten Solok. Tanggal 5/10/22 lalu, lagu “ Biso Ujuang Kato “ diumumkan sebagai lagu terbaik lomba cipta lagu Minang yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Sumbar dan DPD PAPPRI Sumbar. Lagu ciptaannya juga pernah dinyanyikan oleh  Bimbo, Hetty Koes Endang, Eddy Silitonga, Anroy, Zalmon, Nedi Gampo  dan lainnya.
Mulai  mencipta lagu pada  sejak tahun 1972  kiprahnya kian populer  setelah memenangkan ajang cipta lagu  Minang  di awal 1980. Seperti dikutip dari sebuah situs berita online “Saya hanya mencoba memberi nada pada puisi agar enak dibaca dan didengar semua orang, eh tahu tahu saya telah menjadi pencipta lagu saja.”
Almarhum pernah menjadi wartawan di Jakarta dan melanglang buana hingga keluar negeri.Tahun 1973, Ia bekerja sebagai reporter kota di Harian Indonesia Raya, Jakarta.Ketika harian ini tutup pada tahun 1974 karena dibredel oleh Pemerintah, Rhian pindah ke harian Pelita, Jakarta.Tak lama di harian Pelita, Ia mengundurkan diri, selanjutnya bergabung dengan Mingguan Berita Minggu Film, milik Zulharmans.Tahun 1983, bergabung lagi dengan Harian Pelita, dan ditugaskan menjadi koresponden di Padang sampai tahun 1989.Selain itu, sejak tahun 1987 dia juga bergabung dengan Harian Semangat.
Pada tahun 2010  bersama sang istri mendirikan Media Cetak Tabloid Berita Editor ( telah terverifikasi Dewan Pers) disusul kemudian Portal Editor. Tujuan utama mendirikan Tabloid Editor lebih kepada hobi, wadah tempat berkiprah dan menyalurkan aspirasi, serta untuk kemanusiaan.Kalau banyak media cetak berada di sakratul maut dan tercecer oleh media cyber Tabloid berita Editor justru tetap bertahan. Selain beredar di Sumbar juga beredar di Jambi, Riau dan pulau Jawa. Itu bisa tercapai selain pergaulannya yang luas. Bang Kincai bekerja dengan hati. Saya belum pernah mendengar Bang Kincai “berkeras arang” dengan kami kami di Editor.
Sehari sebelum maut menjemput saya masih sempat menghubungi Bang Kincai dan bertanya bagaimana keadaan Uni, sebab saya dapat kabar kalau Uni Linda sakit. Jawabnya kemudian, “ Uni lah sehat, tapi ambo nan sakik 2 hari ini. Flu barek, Kapalo sakik, batuak, salemo, badan rangkik rangkik.Makonyo HP ndak aktif.Tapi kini lah lumayan.Ambo ansua ansua menurunan berita. Mudah mudahan koran wak cetak tanggal 25 ,” ujar Bang Kincai seraya menambahkan kalau dia telah berobat ke Puskesmas pembantu ( Pustu).Sebelum telepon ditutup saya ingatkan Bang Kincai banyak istirahat dan semoga cepat pulih.
Rhian D' Kincai
Rhian D’ Kincai
Usai menutup pembicaraan saya sempat tercenung sebegitu besarnya kecintaan Bang Kincai terhadap Tabloid Editor. Saat sakit di usia senja saja masih bersitungkin mengoreksi dan menyiapkan bahan berita untuk penerbitan kedua Oktober 2022 ini. Saya jadi terkenang pada sosok sosok setia dengan kewartawanan hingga akhir hayat. Almarhum Bapak Havid Tanjung ( wartawan Haluan) yang “curi curian “menulis saat di rawat di RS Ahmad Muchtar Bukittinggi, alm Bapak Zakaria Yamin( Harian Semangat) yang tak mau istirahat menulis saat sakit berat sekalipun.
Selanjutnya alm. Bpk.AA Rajo Djohan,mantan pimpinan saya di Tabloid Publik ( wafat  terkena longsoran sepulang mengantarkan bantuan untuk korban gempa 2010 di kawasan Sitinjau Laut). Seminggu sebelum wafat Pak Datuk Johan berkata ke saya bahwa dia ingin mati diatas koran ini ( Tabloid Publik). Begitu benarlah kecintaannya terhadap media yang telah dibangunnya.
Terakhir Senin malam ( 24/10) saya dapat kabar kalau Bang Kincai  kelahiran  Sungai Penuh, 5 Mei 1953, pengarang buku “ Rainal Rais Abdi Organisasi “( tahun 2003) serta puluhan buku kumpulan puisi dan cerpen yang saya kenal sebagai sosok idealis  berpulang kepada sang pemiliknya. Saya seakan bermimpi, tapi itu nyata.
Hondeeehhhh, baru kemarin bercakap cakap dengannya. Dan, seminggu yang lalu almarhum menyebut edisi kedua Desember nanti koran mungkin tidak terbit karena tanggal 30 Desember 2022 Insya Allah akan pergi umrah. Ketika saya minta penerbitannya dipercepat saja sebelum abang berangkat umrah, dia tak mau berjanji.“liek sajolah nanti
( lihat sajalah nanti). Dikabarkan Bang Kincai sempat pingsan usai menjalankan ibadah shalat magrib dan kemudian dilarikan ke RS Arosuka, Solok. Namun dalam perjalanan diperkirakan menghembuskan nafas terakhir. Malam itu juga jasadnya dibawa ke kampung halaman , Sungai Penuh.
Di usia rentanya  Bang Kincai   yang dulunya bercita cita menjadi seorang  deklamator  masih menyempatkan diri berwirawiri ke sana kemari membaca puisi. Terakhir  Juli lalu hadir memeriahkan  Peringatan  Seabad Khairil Anwar  di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Soal  niatnya bersujud   di depan  Ka’bah  yang belum tunai   tentu telah didengar  dan dicatat Allah SWT  sebagai menuntun Bang Kincai ke jannahNya.
Seperti penggalan puisi Bang Kincai berjudul Saat Ihwal Duka Itu Tiba ( September 2022)
….../terkadang jarak dan waktu membatas/hingga tak sempat melayat dan takziah/melepasnya pulang ke hadirat Illahi rabbi/beri maaf, bila hanya bisa berdo’a /dan lafazkan Al Fatihah buatmu, sahabat …/ andai saatku tiba, fasihkan kalam dzikirkan asma-Mu, ya Khaliq ..
Kini saat mu benar benar telah tiba, Bang. Hasratmu untuk lantunan ribuan dzikir dan doa terpenuhi. Damailah di Tidur Panjangmu ( 251022- Yetti Harni)

 

 

 

 

Menarik dibaca