Oleh : Indang Dewata (Dosen Pasca Sarjana UNP)
Pemerintah menjadikan pendidik profesional ibarat syair lagu dulu kau
yang mulai sekarang kau yang menodai
Perhatian pemerintah terhadap guru semakin meningkat. Setidaknya, beberapa kebijakan terhadap guru juga semakin diperhatikan.
Mulai dari memberikan penghargaan terhadap sebuah karya inovatif¸ perhatian penambahan pendapatan, serta peluang untuk menambah pengetahuan bahkan Himne guru dari lirik guru pahlawan tanda jasa pun dirobah menjadi pahlawan cendikia sebagai ungkapan terima kasih terhadap guru oleh pemerintah.
Pendidik, guru dan dosen merupakan profesi yang sangat strategis. Dalam mengantarkan anak-anak bangsa menjadi taqwa, beriman, cerdas, terampil, dan berkepribadian luhur.
Berbagai dukungan dan usaha pemerintah untuk mewujudkan perhatian terhadap profesi pendidik dengan melahirkan UU. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005.
Yang juga diikuti dengan permendiknas tentang Tunjangan Profesi Guru/tunjangan sertifikasi No. 80 tahun 2011 dan Permendiknas No.16/2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru semuanya dalam rangka perwujudan perhatian pemerintah terhadap profesi pendidik.
Membicarakan tentang guru ibarat sebuah mengurai benang kusut, dari titik pandang mana harus memulai dan dibahagian mana harus mengakhiri. Maka menjawabnya pun tergantung sudut pandang mana yang digunakan dalam melihat guru. Jika melihat dari sudut pandang administrasi dan manajemen maka memandang guru tentu dari segi pengadaan, pengangkatan, penempatan dan pembinaan guru.
Persoalan ini sebenarnya bisa dituntaskan tapi tidak bisa penyelesaikannya secepat membalikkan telapak tangan. Karena mengingat data guru berupa jumlah, umur, tempat dan lokasi tempat tinggal yang begitu banyak.
Terlebih lagi rata-rata kita miskin data serta informasi yang akurat tentang guru dengan tingkat kemampuannya. Serta belum lagi pengalokasian dana yang memadai dalam menguraikan benang kusut tersebut seperti amanat UU sebesar minimal 20% hanya untuk peningkatan mutu dan kualitas di luar dari gaji guru.
Dalam realita sehari-hari masyarakat umum cenderung melihat persoalan pendidikan ini sesuatu hal yang tidak terintegrasi atau terpisah/parsial serta memisahkan antara proses dan produk dari keberhasilan anak didik. Sebagai contoh seorang anak bolos dari sekolah, nilai hasil ujian rendah, kurang punya sopan santun, terlibat kriminal maka persoalan itu diakumulasikan kepada ketidakmampuan guru dalam mendidik anak-anak di bangku pelajaran.
Malahan ada ungkapan bahwa anak saya pintar bukan karana guru yang mengajar, tapi dari tempat-tempat kursus. Tidak sepenuhnya anggapan ini benar dan bisa pula diakomodasi karena mendidik dan mengajar perlu pendekatan komprehensif yang terintegrasi. Mulai dari proses yang dilakukan oleh guru, untuk usaha memaksimalkan hasil belajar anak didik perlu dukungan dari orang tua melalui tambahan belajar anak diluar sekolah.
Jika si anak merasa belum cukup dapat ilmu melalui istilah pengayaan untuk anak didik yang sudah mampu memahami materi pelajaran atau remedial bagi anak yang belum paham materi yang diajarkan guru di sekolah.
Tetapi dasar dan basics ilmu pengetahuan wajib diajarkan oleh guru-guru disekolah yang pada giliran selanjutnya disebabkan oleh keterbatasan waktu, kamampuan anak menangkap materi bahan pelajaran serta materi harus pindah ke bahan materi lain, dapat menyebabkan perbedaan kemampuan anak dalam memahami materi pelajaran di tingkatan di sekolah menyebabkan ada istilah remedial dan pengayaan itu.
Tentu lain lagi jika menurut sudut pandangan birokrasi, akan melihat guru sebagai mesin birokrat dan perpanjangan tangan yang dihubungkan dengan tidak tanduk dan lakunya yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan birokrasi yang ada.
Maka guru layaknya atasan dan staf maka pertimbangan guru profesional tidak lagi jadi menu utama, tapi melihat besarnya potensi yang terkandung pada banyaknya jumlah guru yang bisa dicurahkan kapan dibutuhkan.