Oleh: Saribulih
Sekolah favorit atau unggul telah menjadi polemik bagi berbagai elemen. Para orang tua ada yang menyambut baik, lantaran akan mampu menghasilkan buah hati yang berprestasi lebih tinggi. Bahkan, membuka peluang untuk kuliah di perguruan tinggi favorit dan bergengsi.
Kelompok yang setuju ini, tentu saja berasal dari kalangan pejabat dan kaum berjuis. Karena, mereka akan mampu memenuhi segala kebutuhan anaknya. Tak bisa dipungkiri, sekolah unggul yang dulu bertitel Sekolah Berstandar Internasional (SBI) bakal tersebut butuh biaya besar. Maklum, semua fasilitas tersedia dan ruang belajar pun pakai pendingin. Semua biaya, tentu saja dibebankan pada siswa.
Baca :
Bukan Kepala Sekolah Kaleng Kaleng
Sementara, untuk kalangan kurang mampu hanya bisa gigit jari. Betapapun cerdasnya si buah hati, untuk lolos ke sekolah favorit hanya tinggal ilusi. Maklum, mereka tidak hanya bersaing dengan kemampuan diri, tapi juga berhadapan dengan para pejabat yang terkoneksi dan pemilik uang yang telah ditawarkan pihak sekolah.
Salah satu syarat administrasi saat mendaftar adalah jumlah sumbangan yang diberikan untuk proses pendidikan dan pemeliharaan sarana prasana sekolah. Suatu hal yang sangat memilukan jika dikaitkan dengan sila kelima Pancasila. Dimana letak Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu?
Pengalaman pribadi yang terjadi pada diri saya sendiri, saat mendaftarkan sang buah hati di SMP Negeri 1 Padang melalui jalur mandiri. Suatu jalur yang sangat aneh yang sangat jauh dari trasparansi. Sebenarnya jalur ini waktu itu, sudah dihapus oleh pemerintah pusat, namun di Kota Padang masih tetap diberlakukan. Padahal, Mendikbud sudah menegaskan waktu itu, Jalur mandiri berkedok PPDB ditengarai mudah disalahgunakan untuk mencari uang.
Seperti sudah diprediksi, sang buah hati tidak lolos melalui jalur siluman tersebut. Tak puas, saya berupaya untuk meminta hasil tes siswa secara random. Maklum, Anak saya merupakan pemilik NEM tertinggi dan selalu juara di sekolahnya, gagal. Sementara, temannya bisa lolos yang selama di SD hanya berkutat di 6 besar dengan NEM yang juga di bawah anak saya. Dari hasil yang dipajangkan, posisi mereka sangat bertolak belakang.
Maka jadilah, saya seperti bola pimpong yang dioper dari kepala sekolah dan kepala dinas serta sebaliknya untuk mendapatkan yang diminta. Malahan, mereka berupaya mengalihkan pembicaraan. Bagi mereka, UU Keterbukaan Informasi Publik tak berlaku.
Kehadiran Peraturan Nomor 51 Tahun 2018 tentang kebijakan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tentu saja menjadi sebuah harapan. Baik bagi orang tua yang kurang mampu atau kemampuan anak yang pas-pasan maupun tenaga pendidik.
Bagi, anak yang orang tua kurang mampu adalah anugerah, karena berpeluang untuk menikmati pendidikan di sebelah rumahnya. Apalagi, sekolah itu berlabel favorit yang selama ini dibayangkan tak akan mampu memasuki perkarangan sekolah tersebut.
Begitu juga, bagi guru yang mengajar di sekolah tanpa label unggul. Selama ini, mereka hanya diberi input calon peserta didik ala kadarnya. Namun, dengan adanya sistem zonasi, mereka juga akan mengajar anak yang berkemampuan mumpuni.
Ops tunggu dulu, sepertinya, bagi guru keinginan tersebut masih setengah angan. Ada kekuatan besar yang merubah aturan tersebut. Karena, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melakukan revisi kuota penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur prestasi dari sebelumnya hanya 5 persen menjadi rentang 5-15 persen.
“Berdasarkan arahan Presiden, maka diputuskan adanya fleksibilitas jalur prestasi atau yang berada di luar zona. Akhirnya kami putuskan dibuat rentangnya dari 5 persen hingga 15 persen untuk jalur prestasi,” ujar Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi PhD sebagaimana dilansir media nasional di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Legit kan?