Cairnya Dikotomi Ranah dan Rantau

oleh

Oleh: Isa Kurniawan, Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas)

Budaya merantau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minang. “Marantau bujang daulu, di rumah paguno balun”. Bagi anak laki-laki Minang, semangat meninggalkan ranah (kampung) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di rantau, sudah tertanam sejak beranjak akil baligh. Sebab, Minang yang menganut mazhab matrilineal (garis ibu) tidak ada tempat bagi anak laki-laki dalam soal harta pusaka.

Dalam pemahaman yang saya tahu, ranah itu awalnya adalah Luhak Nan Tigo yakni Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah, selebihnya itu disebut dengan rantau. Seiring berjalannya waktu dan perubahan wilayah administrasi pemerintahan, yang dimaksud dengan ranah itu sekarang lebih kepada wilayah yang menjadi Provinsi Sumbar saat ini, dan di luar itu disebut dengan rantau.

Dulunya, saat sarana dan prasarana transportasi masih terbatas, pergi merantau itu bisa memakan waktu berhari-hari. Kadang ada yang sampai berbulan, baru sampai di rantau yang dituju. Pergi dengan bus dalam kondisi jalan yang sangat buruk dan kalau naik kapal berangkat dari Teluk Bayur. Lagu legendaris “Teluk Bayur” yang didendangkan Erni Johan itu, kalau dilihat dari liriknya, saya yakin itu terinspirasi dari semangat pergi merantau.

Menarik dibaca